20/06/15

Bung Karno Kita

Budiarto Shambazy

Berbagai kalangan, terutama dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, sepanjang Juni 2015 ini memperingati ”Bulan Bung Karno”. Meski tidak bersifat resmi, peringatan seperti ini terbukti makin relevan dilangsungkan dan semoga saja menular pula dirayakan untuk mengenang tokoh-tokoh nasional kita yang patut diteladani.

Semakin tahu informasi mengenai Bung Karno (BK) akan semakin kaya dan tentunya mengundang pro dan kontra. Ini gejala bagus supaya masyarakat menyadari bahwa manusia biasa seperti BK, layaknya sebuah baterai atau aki, ada ”plus dan minusnya”.

Sulit dibantah perjuangan BK mewujudkan cita-cita kemerdekaan belum tersaingi oleh tokoh-tokoh lainnya. Perjuangan itu diawali dari aktivitasnya sebagai tokoh pemuda di Bandung pada 1920-an sampai membacakan teks Proklamasi 17 Agustus 1945.

Perjuangan BK bukan sebatas menggerakkan aksi massa melawan Belanda ataupun Jepang. Ia juga coba merumuskan ideologi, bentuk demokrasi, konstitusi, sampai doktrin-doktrin kenegaraan sepanjang ia mengabdi sebagai aktivis ataupun presiden.

Terlalu banyak untuk menghitung jumlah buku, karya tulis, pidato, dan dokumentasi lain mengenai BK. Sampai kini pun belum juga selesai perdebatan tentang apa sesungguhnya yang terjadi pada BK di hari-hari yang menegangkan di negeri ini sejak 30 September 1965 sampai Soeharto menjadi pejabat presiden pada 12 Maret 1967.

Pada periode sekitar 10 tahun pertama sejak proklamasi, BK lebih banyak melawat ke sejumlah daerah di negeri ini. Dalam beberapa kesempatan, BK menyebut memercayai Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk menjalankan roda pemerintahan sehari-hari di Jakarta.

Pada periode 1955-1965, BK mungkin lebih sering melawat ke mancanegara. Hasil jerih payahnya melancarkan diplomasi bebas-aktif tecermin dari sukses Indonesia menjadi salah satu pendiri Konferensi Asia Afrika ataupun Gerakan Nonblok.

Dunia menempatkan BK sebagai salah seorang pemimpin dunia yang cemerlang dan visioner. Sampai akhir hayatnya, BK menerima lebih dari 20 gelar doktor honoris causa dari universitas di Amerika Serikat, Eropa Barat dan Timur, Rusia (Uni Soviet), Tiongkok, serta sejumlah negara Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.

Ia hanya kalah dari Nelson Mandela yang menerima hampir 50 gelar tersebut dari mancanegara. Sayang, pengakuan intelektual pada tingkat global ini diwarnai ”petualangan” BK memprakarsai pembentukan Nefos (New Emerging Forces) karena kekecewaan dia terhadap Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pada periode 1963-1965 BK juga sibuk memerangi Malaysia. Banyak kalangan menilai politik konfrontasi terhadap negara jiran itu dilancarkan BK untuk mengalihkan perhatian dari kondisi ekonomi domestik yang semakin sulit.

Apakah argumen itu sahih atau tidak, tentu bisa didebatkan panjang-lebar. Sebuah hal yang pasti, sejak memberlakukan Dekrit 5 Juli 1959, BK sesungguhnya telah memulai proses pembangunan Indonesia sebagai kekuatan menengah yang disegani setidaknya di Asia Pasifik.

Kita nyaris go nuclear (memiliki senjata nuklir) serta pusat pelatihan bagi militer dari negara-negara Asia dan Afrika. Kita punya angkatan bersenjata yang disegani dengan puluhan kapal selam, ratusan pesawat tempur, dan seterusnya.

Utang luar negeri BK saat itu hanya 2,5 miliar dollar AS. BK telah mencanangkan perencanaan pembangunan per delapan tahun dengan tujuan utama menjadikan Indonesia take-off sebagai negara industri pada 1970-an.

Kekayaan migas dan tambang dikelola secara cermat dan hemat, begitu juga strategi ekspor komoditas-komoditas andalan (seperti karet dan kopra). Pendek kata, apa yang dilakukan Pak Harto, pembangunan melalui Repelita (rencana pembangunan lima tahun), sebenarnya hanya kelanjutan dari yang dilakukan BK.

Pembangunan manusia yang dilakukan BK sejak Dekrit 5 Juli juga cukup impresif. Jika Anda buka data dari sejumlah buku karya ilmuwan Barat, ternyata ketika itu generasi muda Indonesia disebut sudah siap menghadapi kompetisi global berkat sistem pendidikan yang memadai.

Mungkin kalau berbicara tentang Dekrit 5 Juli kita menyimpulkan BK sebagai diktator bertangan besi yang enggan dikritik. Pada saat itulah dia mulai membungkam oposisi dan memberangus pers serta pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya mulai dikultusindividukan oleh berbagai kalangan elite.

Sekali lagi, manusia seperti baterai atau aki yang ada plus dan minusnya. Bung Karno kita tak terkecuali, ia juga manusia biasa yang pernah menjadi pemimpin besar kita yang telah mewariskan Tri Sakti untuk diwujudkan oleh pemerintahan saat ini.

Budiarto Shambazy; Wartawan Senior Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar